Sabtu, 10 Juli 2010

Pemeriksaan Laboratorium Untuk Mendiagnosis Penyakit Leptospirosis


di sadur dari tulisan I Made Setiawan

Abstrak
Penyakit leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira dan tersebar di seluruh dunia terutama di Negara tropis dengan kelembaban yang tinggi. Penyakit ini dapat ditemukan di daerah pedesaan maupun perkotaan. Walapun demikian, penyakit ini sangat jarang dilaporkan. Hal ini mungkin disebabkan penyakit leptospirosis sulit dideteksi, karena mempunyai gejala klinis mirip dengan penyakit lain seperti influenza, hepatitis, demam dengue, tuberkulosis, malaria, dll. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu alat diagnostic canggih yang dapat mendeteksi penyakit secara dini, sehingga penatalaksanaan penderita dapat dilakukan dengan tepat. Ada berbagai teknik laboratorium yang dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit leptospirosis diantaranya, (1) mendeteksi Leptospira secara langsung menggunakan mikroskop lapangan gelap atau mendeteksi bakteri Leptospira dengan membiakkan; (2) mendeteksi gen spesifik Leptospira menggunakan PCR; (3) mendeteksi antibodi terhadap Leptospira secara serologis menggunakan metode MAT, ELISA, RIA, IHA, dll. Semua metode ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Informasi ini dapat berguna untuk para klinisi, peneliti, dan ahli epidemiologi dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan laboratorium.
Pendahuluan
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang sangat penting, dan ditemukan hampir di seluruh dunia, terutama di belahan bumi beriklim tropis dan subtropis. Penyakit ini dapat berkembang menjadi epidemi di daerah perkotaan maupun pedesaan.1,2 Leptospirosis disebabkan oleh spirochaeta termasuk genus Leptospira, terdiri lebih dari 250 serovars.2,3 Pada manusia biasanya terjadi setelah penderita kontak dengan air tergenang yang terkontaminasi dengan kencing binatang yang terinfeksi, atau mempunyai pekerjaan berhubungan dengan tanah basah yang terkontaminasi dengan leptospira.4 Epidemi penyakit leptospirosis pada manusia di daerah tropis, terutama terjadi pada musim hujan. Gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari penyakit tanpa gejala sampai gejala yang sangat berat, seperti panas tinggi, nyeri otot dan sendi yang sangat hebat, kelainan pernafasan, hepar, ginjal, sampai terjadi penurunan kesadaran. 1,2 Gejala penyakit leptospirosis sering menyerupai gejala penyakit lain, seperti malaria, tuberkulosis, hepatitis, demam thypoid, dan infeksi parasit lainnya.5 Oleh karena itu, untuk menegakkan diagnosis pasti dengan hanya berdasarkan gejala klinis adalah sangat sulit, sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium yang cepat, tepat, dengan
sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Tulisan ini menguraikan metode laboratorium yang digunakan dalam menegakkan diagnosis penyakit leptospirosis sebagai masukan untuk klinisi, peneliti, dan epidemiologist.

Struktur/Morfologi
Famili leptospiraceae termasuk orde spirochaetales sekarang dibagi menjadi 3 genera: Leptospira, Leptonema dan Tumeria (dulu disebut L. parva).6 Sebelum tahun 1989 genus Leptospira dibagi menjadi dua spesies yaitu L. interrogans merupakan galur patogen, dan L. biflexa merupakan galur saprofit yang diisolasi dari lingkungan.3,7 Leptospira adalah spirochaeta yang berbentuk pegas/coil dengan ukuran garis tengah 0,1 µm dan panjang 6-20 µm. Kadang-kadang ditemukan jauh lebih panjang. Amplitudo heliks mencapai 0,1-0,15 µm dengan panjang gelombang mencapai 0,5 µm. Salah satu atau kedua ujung sel melengkung dengan sudut yang berlawanan. Mempunyai dua filamen aksial dengan insersi polar terletak dalam ruang periplasma. Struktur protein flagella sangat komplek.3,6

Pengambilan Sampel Spesimen
Saat pengambilan sampel sangat tergantung pada fase infeksi penyakit. Leptospira biasanya berada di dalam peredaran darah penderita kirakira 10 hari setelah terjadi infeksi. Leptospira juga ditemukan pada cairan tubuh yang lain seperti, urine, cairan serebrospinal, beberapa hari sesudah serangan penyakit, dan pada saat bersamaan juga dia masuk ke organ dalam penderita. Titer antibodi yang dapat dideteksi kira-kira 5-10 hari sesudah serangan penyakit, kadang-kadang lebih lama bila penderita sudah mendapat pengobatan antibiotika.8 Jenis sampel yang sering digunakan adalah:
1. Darah yang diambil 10 hari pertama sakit yang dicampur heparin (untuk mencegah pembekuan) digunakan untuk pemeriksaan biakan. Darah untuk biakan sebaiknya diambil tidak lebih 10 hari sesudah serangan penyakit, karena Leptospira sudah menghilang dari peredaran darah. Sampel untuk biakan harus disimpan dan diangkut dalam suhu ambien, karena temperatur yang rendah dapat merusak Leptospira patogen.
2. Darah beku atau serum. Sampel ini sebaiknya diambil dua kali dengan selang waktu beberapa hari, yaitu saat serangan penyakit dan sesudah terjadinya serokonversi.
3. Urine untuk biakan. Leptospira umumnya cepat mati bila tercampur dengan urine. Urine yang akan digunakan untuk biakan mempunyai nilai tinggi, bila diperoleh dalam keadaan bersih. Urine diinokulasi ke dalam media biakan dalam waktu tidak lebih dari 2 jam sesudah pengambilan. Masa hidup Leptospira di dalam urine yang asam dapat diperpanjang dengan menetralisasi urine tersebut.
4. Sampel postmortem (sesudah meninggal). Pengambilan sampel ini adalah sangat penting dan diusahakan untuk mengambil dari berbagai organ dalam, termasuk otak, cairan serebrospinal, cairan mata, paru, ginjal, hati, jantung, dan darah yang berada di dalam jantung untuk pemeriksaan serologis. Sampel postmortem harus diambil secepat mungkin secara aseptik. Sampel yang sudah diambil harus segera diinokulasi ke dalam medium biakan, dan harus disimpan dan diangkut pada suhu +4oC. Terjadinya autolisis sel pada suhu +4oC dan penurunan pH harus dicegah, dan jangan ditaruh pada suhu yang rendah.
5. Sampel cairan serebrospinal dan dialisat digunakan untuk biakan.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium sangat perlu untuk menegakkan diagnosis penyakit leptospirosis
secara dini dengan cepat dan tepat. Manfaat pemeriksaan laboratorium adalah:8
1. Memastikan diagnosis leptospirosis, karena penyakit ini secara klinis sangat sulit dibedakan dengan penyakit lain.
2. Menentukan jenis serovar-serogrup penyebab infeksi, yang dapat digunakan untuk mengetahui sumber penularan. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada penderita leptospirosis dapat dibagi menjadi pemeriksaan laboratorium yang bersifat umum dan pemeriksaan laboratorium spesifik.

1. Pemeriksaan Laboratorium Klinik Umum
Pemeriksaan laboratorium klinik umum memberikan hasil berbeda antara leptospirosis yang ringan dan berat. Hasil pemeriksaan laboratorium penderita dengan gejala leptospirosis berat memperlihatkan kelainan hasil laboratorium yang sangat jelas.
1.a. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pada
Kasus yang Ringan
Hasil pemeriksaan darah tepi penderita leptospirosis ringan, ditemukan laju endap darah meningkat, jumlah lekosit tidak jelas, kadangkadang di bawah nilai normal, normal, atau sedikit meningkat. Hasil tes fungsi hati ditemukan sedikit peningkatan aminotransferase, bilirubin, dan alkalinphospatase, sedangkan secara klinis ikterus tidak tampak dengan jelas.10 Hasil pemeriksaan urine ditemukan proteinuria, pyuria, dan sering ditemukan hamaturia mikroskopik. Juga ditemukan adanya hialin dan granular cast pada minggu pertama sakit.3
1.b. Hasil Pemeriksaan Laboratorium pada
Kasus yang Sangat Berat
Pemeriksaan darah tepi tampak leukositosis dengan pergeseran ke arah kiri, dan trombositopeni berat. Dari tes fungsi ginjal ditemukan gangguan fungsi ginjal ditandai dengan peningkatan kadar kreatinin plasma. Tingkat azotemia terjadi bervariasi tergantung beratnya penyakit.9,10 Tes fungsi hati pada leptospirosis berat umumnya memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin darah cukup bermakna dengan sedikit peningkatan kadar alkalin phospatase. Peningkatan bilirubin umumnya tidak sesuai dengan nilai tes fungsi hati yang lain.11. Hasil pemeriksaan pungsi lumbal terutama ditemukan sel limfosit, kadar protein normal atau sedikit meningkat, sementara kadar glukose normal. Pada penderita dengan ikterus berat, cairan serebrospinal tampak xantochrom. Kelainan cairan serebrospinal tampak jelas pada minggu ke-2 sakit, dan pleositosis pada cairan serebrospinal dapat terjadi sampai berminggu-minggu.3 Perubahan alami yang tidak spesifik ini hanya dapat dipakai untuk menduga adanya infeksi leptospirosis. Untuk memastikan diagnosis, perlu dilakukan pemeriksaan mikrobiologi spesifik.
2. Pemeriksaan laboratorium spesifik
2.a. Pemeriksaan Bakteri
2.a.1. Pemeriksaan bakteri secara langsung dengan mikroskop
Hasil pemeriksaan ini dapat digunakan menegakkan diagnosis leptospirosis secara pasti. Leptospira dari spesimen klinik dilihat secara langsung menggunakan mikroskop lapangan gelap atau menggunakan mikroskop cahaya setelah preparat dicat dengan pewarnaan yang sesuai. Agar bakteri tampak pada mikroskop lapangan gelap diperlukan 104 Leptospira/ml, dengan harapan setiap lapangan pandang tampak satu sel.3 Agar pemeriksaan mikroskopis berhasil, sampel darah diambil dalam 6 hari sesudah timbul gejala, jika lebih Leptospira sulit ditemukan. Juga sangat sulit menemukan Leptospira pada cairan serebrospinal, karena jumlah bakteri sangat sedikit. Pemeriksaan ini sering memberikan hasil yang keliru, karena adanya fibrin atau protein yang kelihatan bergerak dan berwarna coklat (Brownian motion), sehingga spesifisitasnya rendah.3,12 Leptospira tampak sebagai organism bergerak cepat, berbentuk spiral pegas yang kurus, umumnya ditemukan dalam biakan, darah, dan urine.8 Dari hasil penelitian, sensitifitas pemeriksaan mikroskop lapangan gelap 40,2% dan spesifisitas 61,5%, dengan nilai ramal positif 55,2% dan nilai ramal negatif 46,6%. Nilai ratarata positif pada penderita dengan pemeriksaanbiakan positif cukup rendah yaitu 40%.12 Walaupun pemeriksaan ini merupakan tes yang cepat, tetapi tidak disarankan digunakan sebagai prosedur tes tunggal untuk mendiagnosis leptospirosis.8 Keuntungan pemeriksaan ini:8 dapat digunakan untuk mengamati Leptospira dalam biakan, terutama bila bakteri dalam jumlah banyak, dan untuk mengamati aglutinasi pada pemeriksaan MAT. Kelemahannya, memerlukan tenaga ahli berpengalaman. Bila jumlah bakteri sedikit, Leptospira sulit ditemukan.8 Sensitifitas pemeriksaan ini dapat ditingkatkan dengan memberikan pewarnaan. Metode pewarnaan yang sering dipakai immunofluorescence. Teknik ini dapat dilakukan untuk pemeriksaan urine, darah, dan tanah. Di samping itu, Leptospira dapat juga diwarnai dengan immunoperoksidase, sering digunakan untuk pemeriksaan sampel darah dan urine. Pewarnaan histologis yang paling sering digunakan untuk memperlihatkan Leptospira adalah pewarnaan perak dan pewarnaan Warthin-Starry.3,8
2.a.2. Isolasi Bakteri Hidup
Spesimen dari penderita dibiakkan pada media untuk memperbanyak bakteri. Metode ini membutuhkan waktu cukup lama, sangat mahal, dan memerlukan tenaga ahli berpengalaman, dan sensitifitasnya rendah. Biakan bakteri memerlukan media yang komplek dan rumit, yang harus mengandung perangsang pertumbuhan dan antibiotika untuk menekan pertumbuhan kontaminan. Masa pertumbuhan bakteri cukup panjang yaitu 6-8 jam/siklus, sehingga tidak. mungkin dipakai mendiagnosis lepotospirosis secara dini.13 Infeksi Leptospira pada binatang dan manusia diperkirakan terjadi sangat singkat. Biasanya bakteri ditemukan di dalam darah selama 8 hari dari pertama sakit. Oleh karena itu, darah diambil secepat mungkin. Pemberian antibiotika dapat mempengaruhi keberhasilan isolasi bakteri. Cairan serebrospinal untuk biakan harus diambil pada minggu pertama sakit. Sampel urine diambil pada minggu kedua sakit. Masa hidup Leptospira dalam urine sangat terbatas. Urine harus cepat diproses dengan sentrifugasi, sedimen yang diperoleh diresuspensi ke dalam phosphate buffer salin-PBS (untuk menetralisasi pH), kemudian diinokulasi ke dalam medium dan diinkubasi pada temperatur 28o-30oC diamati setiap minggu. Sekarang sudah tersedia system biakan yang dijual secara komersial.14
2.a.3. Deteksi Antigen Bakteri
Ada berbagai metode untuk mendeteksi antigen Leptospira di antara tekhnik-tekhnik tersebut adalah, teknik radioimmunoassay (RIA), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan chemiluminescent immunoassay. Deteksi antigen Leptospira pada spesimen klinik lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskop lapangan gelap. Beberapa teknik ini telah dievaluasi, misalnya, metode RIA dapat mendeteksi 104 sampai 105 Leptospira/ml, metode
ELISA dapat mendeteksi 105 Leptospira/ml. RIA lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan langsung dengan mikroskop lapangan gelap, tetapi kurang sensitif dibandingkan biakan, terutama untuk pemeriksaan urine. Metode chemiluminescent immunoassay memberi hasil tidak berbeda dengan ELISA.3 Berdasarkan hasil penelitian, pemeriksaan antigen Leptospira dalam urine penderita dengan metode dot-ELISA menggunakan antobodi monoklonal LD5 dan LE1 memberi hasil positif berturut-turut 75%, 88,9%, 97,2%, 97,2% dan 100% bila sampel urine secara berurutan diambil pada hari ke 1, 2, 3, 7, dan 14 perawatan. Hasil penelitian ini cukup kuat untuk dapat diterapkan dalam mendeteksi antigen di dalam urine.13 Leptospira yang sudah diisolasi juga dapat dideteksi menggunakan metode absorbsi agglutinin silang. Dengan memiliki panel antibodi monoklonal, maka laboratorium yang mampu melakukan tes aglutinasi mikroskopis, dapat mengidentifikasi isolat dalam waktu relatif lebih cepat. Metode molekuler seperti polymerase chain reaction (PCR), restriction fragment length polymorphisms (RFLP) juga dapat dipakai mendeteksi Leptospira.3,8 Di samping itu, serovar atau serogup juga dapat ditentukan dari isolate Leptospira yang diperoleh.8
2.b. Pemeriksaan Serologis
Sebagian besar kasus leptospirosis didiagnosis dengan tes serologi. Antibodi dapat dideteksi di dalam darah 5-7 hari sesudah munculnya gejala. Ada banyak metode serologis yang dapat digunakan, dan yang dianggap paling baik sampai saat ini adalah microscopic agglutination test (MAT).
2.b.1. Microscopic Aglutination Test (MAT)
Microscopic aglutination test (MAT) adalah tes untuk menentukan antibodi aglutinasi di dalam serum penderita. Cara melakukan tes adalah, serum penderita direaksikan dengan suspensi antigen serovar Leptospira hidup atau mati. Setelah diinkubasi, reaksi antigen-antibodi diperiksa di bawah mikroskop lapangan gelap untuk melihat aglutinasi. Yang dipakai batas akhir (end point) pengenceran adalah pengenceran serum tertinggi yang memperlihatkan 50% aglutinasi.8 Metode ini dipakai sebagai metode referensi untuk mengembangkan teknik lain dengan membandingkan sensitifitas, spesifisitas, dan akurasi. MAT sering mengalami beberapa kendala terutama di negara yang sedang berkembang, karena memerlukan banyak jenis serovar dan tenaga ahli yang berpengalaman.13 Metode MAT sangat rumit terutama saat pengawasan, pelaksanaan, dan penilaian hasil. Seluruh biakan serovar hidup harus dipelihara dengan baik. Perlakuan terhadap tes menggunakan Leptospira hidup maupun mati harus sama. Memelihara biakan Leptospira di dalam laboratorium cukup berbahaya bagi para petugas. Di samping itu, sering terjadi kontaminasi silang antara serovar, sehingga perlu dilakukan verifikasi
serovar secara berkala.3,8 Pemeriksaan MAT memerlukan antigen serovar Leptospira yang banyak beredar di suatu wilayah.3,8 Serovar yang sering digunakan adalah
Leptospira Interrogens yaitu, Australis, Autumnalis, Bataviae, Canicola, Copenhageni, Grippotyphosa, Hebdomadis, dan Pomona. Leptospira biflexa adalah serovar Patoe.1 Maksud penggunaan banyak jenis antigen, agar dapat mendeteksi infeksi serovar yang tidak umum, yang sebelumnya tidak pernah terdeteksi.3,8 Sampai saat ini, serovar Leptospira yang beredar di Indonesia belum seluruhnya diketahui secara pasti. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui seluruh serovar yang beredar di Indonesia, sehingga antigen yang digunakan sesuai dengan serovar yang beredar, untuk memperoleh hasil MAT yang lebih tepat dan menghindari hasil negatif palsu. Untuk mengatasi kesulitan MAT dengan antigen hidup, maka digunakan antigen mati. Antigen mati umumnya menghasilkan titer antibodi sedikit lebih rendah, dan reaksi silang lebih sering terjadi. Aglutinasi antigen mati kualitasnya berbeda dengan antigen hidup. Akan tetapi, untuk laboratorium yang tidak memiliki tenaga ahli, maka antigen ini merupakan alternative yang cukup baik.3 Pada tubuh penderita biasanya muncul antibodi aglutinasi terhadap serovar yang menginfeksi. Sering ditemukan antibodi yang bereaksi silang dengan serovar lain, terutama ditemukan pada fase dini penyakit. Pada minggu pertama, reaksi heterologous serovar lain terjadi lebih kuat dibanding reaksi homologous serovar yang menginfeksi. Kadang-kadang ditemukan reaksi heterologous positif, sementara reaksi homologous masih negatif. Fenomena ini disebut reaksi paradoxical. Titer antibodi reaksi silang cendrung menurun relatif lebih cepat sampai beberapa bulan, sementara antibodi spesifik serogrup dan spesifik serovar tetap ada dalam waktu lama sampai bertahun-tahun.8 Hal ini disebabkan karena penderita sudah mempunyai antibodi terhadap serogrup Leptospira lain sebelum terkena infeksi serogrup Leptospira yang baru.3 Untuk diagnosis, diperlukan sepasang
serum. Adanya peningkatan titer empat kali lipat dari sepasang serum dapat memastikan diagnosis tanpa memperhatikan jarak waktu pengambilan di antara kedua sampel. Jarak pengambilan antara sampel pertama dan kedua sangat tergantung pada waktu antara munculnya gejala dan penampilan gejala penyakit yang berat pada penderita. Jika gejala penyakit leptospirosis sangat jelas, maka jarak 3-5 hari sudah dapat mendeteksi peningkatan titer. Untuk penderita dengan perjalanan penyakit kurang jelas atau jika munculnya gejala tidak diketahui, maka jarak pengambilan sampel pertama dan kedua antara 10-14 hari. Jarang serokonversi tidak terjadi dengan jarak waktu tersebut. Selang waktu antara sampel pertama dan kedua sebaiknya lebih lama. Pemeriksaan serologis menggunakan MAT kurang sensitif terutama untuk pemeriksaan spesimen yang diambil pada permulaan fase akut, sehingga tidak dapat digunakan menentukan diagnosis pada penderita berat yang meninggal sebelum terjadinya serokonversi.3 Infeksi Leptospira akut sangat sulit didiagnosis dengan pemeriksaan sampel tunggal, karena titer antibodi penderita dipengaruhi oleh tingkat paparan yang terjadi di dalam populasi dan seroprevalensi. Oleh karena itu, menurut communicable disease controle (CDC), yang dianggap kasus mungkin (probable) adalah penderita yang memiliki titer antibodi =200 dengan gejala klinis yang sesuai. Penilaian ini dapat diterapkan di negara dengan paparan Leptospira yang jarang, sedangkan untuk Negara tropis dengan tingkat paparan Leptospira yang tinggi, maka titer tunggal adalah =800, tetapi untuk lebih pasti disarankan titer =1.600.3 MAT juga merupakan tes yang cukup baik untuk serosurvei epidemiologi, karena dapat juga dipakai pemeriksaan pada binatang, dan antigen yang dipakai dapat ditambah atau dikurangi sesuai dengan kebutuhan. Biasanya sebagai bukti mendapat paparan sebelumnya adalah titer =100.15 MAT dapat memberikan gambaran umum tentang serogrup yang ada dalam populasi.13 Karena pemeriksaan MAT sangat komplek, maka dikembangkan sistem pemeriksaan antibody Leptospira yang cepat. Ada berbagai metode serodiagnostik untuk leptospirosis. Beberapa di antaranya sudah tersedia secara komersial. Tes yang paling sering digunakan sebagai pengganti MAT adalah tes enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).16
2.b.2. Enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA)
Tes ELISA sangat popular dan bahan yang diperlukan untuk pemeriksaan sudah tersedia
secara komersial dengan antigen yang diproduksi sendiri (in house). Untuk mendeteksi IgM umumnya digunakan antigen spesifik genus yang bereaksi secara luas, teknik ini kadang-kadang juga digunakan untuk mendeteksi antibodi IgG. Adanya antibodi IgM merupakan pertanda adanya infeksi baru Leptospira, atau infeksi yang terjadi beberapa minggu terakhir.8 Test ELISA cukup sensitif untuk mendeteksi Leptospira dengan cepat pada fase akut, dan lebih sensitif dibandingkan dengan MAT.1 Tes ini dapat mendeteksi antibodi IgM yang muncul pada minggu pertama sakit, sehingga cukup efektif untuk mendiagnosis penyakit. ELISA dapat juga digunakan untuk mendeteksi antibodi IgM dalam cairan serebrospinal, saliva dan urine. Harus diingat bahwa, antibodi klas IgM kadang-kadang masih dapat dideteksi sampai bertahun-tahun, sehingga titer positif (cut-off point) harus ditentukan dengan dasar pertimbangan yang sama seperti MAT. Tes ELISA spesifik genus cendrung memberikan reaksi positif lebih dini dibandingkan dengan MAT. ELISA biasanya hanya mendeteksi antibody yang bereaksi dengan antigen spesifik genus yang sangat luas, sehingga tidak dapat menentukan serovar atau serogrup penyebab.8 Metode ELISA telah banyak dimodifikasi, misalnya, Dot-ELISA spesifik IgM dikembangkan menggunakan antigen Leptospira polivalen yang diteteskan di atas kertas filter selulose sumur mikrotiter. Dengan metode ini, jumlah reagen yang dibutuhkan sedikit. Di samping untuk mendeteksi IgM, metode ini dimodifikasi untuk mendeteksi IgG dan IgA. Dipstick assay telah digunakan secara luas di beberapa negara. Dari hasil pemeriksaan sampel darah yang diambil pada fase akut, tes ini memberikan sensitifitas 60,1%, dan bila sampel darah diambil pada fase konvalesen sensitifitasnya meningkat menjadi 87,4%.17 Dari hasil penelitian ternyata sensitifitas IgM-ELISA dan IgM-dipstick komersial untuk mendeteksi leptospirosis akut adalah 89,6-98% dan spesifisitasnya 90-92,7% dengan nilai ramal positif 87,6-90% dan nilai ramal negatif 90,7- 92%. Pemeriksaan dot immunoblot dengan menggunakan conjugate koloid emas dapat memberikan hasil pemeriksaan dalam waktu 30 menit.3,18
2.b.3. Tes serologis lain
Tes macroscopic slide agglutination sudah pernah dilakukan pada binatang dan manusia. Sering digunakan untuk penapisan serum manusia atau binatang, tetapi sering memberikan hasil positif palsu.19 Juga dapat digunakan sel darah merah yang disensitisasi, bila ditambahkan komplemen akan mengalami hemolitik. Di samping itu, juga dapat dilakukan pemeriksaan hemaglutinasi. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG.3 Pemeriksaan indirect hemagglutination (IHA) dikembangkan oleh communicable disease control (CDC), mempunyai sensitifitas 92%, spesifisitas 95%, dan dengan nilai ramal negative 92%, bila dibandingkan dengan MAT. Metode ini tersedia secara komersial. Sensitifitas IHA pada populasi yang endemi Leptospira memberikan hasil yang sangat bervariasi.16,20,21 Tes aglutinasi mikrokapsul menggunakan polimer sintetik sebagai pengganti sel darah merah telah dievaluasi secara luas di Jepang dan China, ternyata lebih sensitif dibandingkan dengan MAT atau ELISA-IgM untuk pemeriksaan fase akut, tetapi gagal mendeteksi infeksi yang disebabkan oleh banyak serovar.3 Pemeriksaan aglutinasi latex sederhana (simple latex agglutination assay) mempunyai sensitifitas 82,3% dan spesifisitas 94,6%. Pemeriksaan ini sangat mudah dilakukan dan tidak memerlukan keahlian dan peralatan khusus. Reagen mempunyai masa hidup lama, walaupun pada temperatur lingkungan daerah tropis.23 Teknik lain adalah immunofluorescence, RIA, counterimmunoelectroforesis dan immuno assay tetes tebal, tetapi jarang digunakan.
3. Pemeriksaan Molekuler
DNA Leptospira dapat dideteksi menggunakan metode dot-blotting dan hybridisasi. Probe rekombinan yang spesifik untuk serovar patogen sudah dibuat dari serovar lai. Probe spesifik untuk serovar hardjobovis juga sudah dikembangkan dan digunakan untuk mendeteksi Leptospira dari urine sapi. Agar dapat mendeteksi, probe yang dilabel dengan 32P membutuhkan 103 Leptospira, sedangkan jumlah Leptospira yang dapat dideteksi oleh PCR jauh lebih rendah, sehingga sekarang teknik probe sudah tidak digunakan lagi.3
3.a. Teknologi PCR
metode amplifikasi segmen DNA Leptospira yang terdapat di dalam sampel klinik. Jadi, adanya
Leptospira dipastikan dengan menemukan segmen DNA Leptospira yang spesifik. Metode ini sangat berguna untuk mendiagnosis leptospirosis terutama pada fase permulaan penyakit. Alat ini dapat mendeteksi Leptospira beberapa hari setelah munculnya gejala penyakit. Akan tetapi, alat ini belum tersedia secara luas terutama di Negara yang sedang berkembang.23 Untuk mendeteksi DNA Leptospira, teknologi PCR membutuhkan sepasang primer dengan sasaran gen spesifik, seperti gen rRNA 16S dan 23S, atau elemen pengulangan. Di samping itu, ada juga yang disusun dari pustaka genom. Umumnya teknologi ini sangat jarang dipakai untuk memeriksa spesimen klinik.3 Dari hasil penelitian penderita yang sudah didiagnosis leptospirosis secara pasti, ternyata yang menunjukkan hasil biakan positif sekitar 48%, sementara PCR 62%, sedangkan pemeriksaan serologis 97%. Pada keadaan tertentu pemeriksaan PCR lebih menguntungkan. Sebagai contoh, pemeriksaan ini dapat memberikan hasil positif pada 2 penderita yang meninggal sebelum terjadi serokonversi, dan juga memberi hasil positif pada 18% penderita seronegatif pada permulaan fase akut.3 Merien dkk. (1992) membuat sepasang primer yang dapat mengamplifikasi fragmen yang panjangnya 331 pasang basa dari gen rrs (rRNA 16S) Leptospira patogen dan non-patogen dengan harapan agar dapat mendeteksi seluruh serovar patogen.24 Gravekamp dkk. (1993) membuat primer G1 dan G2.25 Primer ini mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat mengamplifikasi serovar L. kirschneri. Kedua pasang primer ini sudah digunakan secara luas untuk studi klinik. Keterbatasan PCR adalah tidak mampu untuk mendeteksi jenis serovar yang menginfeksi. Walaupun demikian PCR bermanfaat untuk epidemiologi dan kesehatan masyarakat. Agar lebih bermanfaat, maka hasil yang diperoleh dicerna dengan enzim endonuclease restriksi, kemudian amplicon yang diperoleh disikuens langsung, atau dianalisis dengan metode konformasi untai tunggal.26 Keuntungan pemeriksaan PCR adalah, bila bakteri ada maka diagnosis dapat dipastikan dengan cepat terutama pada fase dini penyakit sebelum titer antibodi dapat dideteksi. Kelemahannya, memerlukan peralatan dan tenaga ahli yang khusus. Disamping itu, PCR dapat memberikan hasil positif palsu, apabila terkontaminasi oleh DNA asing. Dia juga dapat memberi hasil negatif palsu, karena specimen klinik yang diperiksa sering mengandung inhibitor seperti heparin dan saponin.8
3.b. Pemetaan molekuler
Metode yang digunakan adalah mencerna DNA kromosom menggunakan restriction endonuclease (REA), restriction fragment length polymorphism (RFLP), ribotyping, pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) dari hasil PCR. Metode-metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi berbagai serovar.3

Kesimpulan
Ada berbagai metode tes laboratorium yang dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit leptospirosis pada manusia. Untuk mendeteksi Leptospira dapat dilakukan dengan membiakkan pada medium yang sudah tersedia, atau dengan melihat bakteri secara langsung pada specimen klinik menggunakan mikroskop lapangan gelap. Saat ini pemakaian PCR untuk mendeteksi gen Leptospira menggunakan sepasang primer juga sudah banyak berkembang. Diagnosis dapat juga ditegakkan dengan cara pemeriksaan serologis untuk mendeteksi antibodi yang timbul sebagai akibat leptospirosis, misalnya dengan MAT, ELISA, RIA, IHA dll. Masing-masing dari tes ini mempunyai keunggulan dan kelemahan. Untuk itu, maka para klinisi, ahli epidemiologi, dan peneliti hendaknya memahami keunggulan dan kelemahan dari masing-masing tes ini, sehingga dapat mengevalusi hasil tes yang diperoleh dengan baik dan benar.

Daftar Pustaka:
1. Bharadwaj R, Bal AM, Joshi SA, Kagal A, leptospirosis in Mumbai, India. Jpn.J Infect
Dis 2002; 55:194-196.
2. Ko AI, Reis MG, Dourado CMR, Johnson WD, Roley LW, and the Salvador Leptospirosis Study Group.
Urban epidemic of severe leptospirosis in Brazil. Lancet 1999; 354:820-825.
3. Levett PN, Branch SL, Whitington CU, Edwards CN, and Paxton H. Two methods for rapid diagnosis of acute leptospirosis. Clin Diagn Lab Immunol 2001; 8: 349-351.
4. Romeo EC, Bernardo CCM, Yasuda PM.
Human leptospitosis: A twenty-nine year serological study in Saulo Paulon Brazil. Res Inst Med trop S Paulo 2003; 45(5):745-748
5. Chu KM, Rathinam R, Namperumalsamy, and Dean D.
Identification of leptospira spesies in the pathogenesis of uveitis and determination of clinical ocular characteristics in South India. J Infect Dis 1998; 177:1314-21.
6. Plank R and Dean D. Overview of the
epidemiology, microbiology, and pathogenesis of leptospira spp. In humans. Microbes and Infect 2000; 2: 1265-1276.
7. Fontaine GA.: Canine leptospirosis---Do we
have a problem? J Vetmic 2006; 117: 19-24.
8. WHO. Leptospirosis: Guidance for diagnosis, surveillance and control. International leptospirosis society. 2003.
9. Marutto PCF, Nascimento CMR, Neto JE, Marotto MS, Andrade L, Sztajnbok J, et al.
Acute lung injury in leptospirosis: Clinical and laboratory featurer, outcome, and factors
associated with mortality. Clin Infec Dis 1999; 29: 1561-3.
10. Martin EM, Bestard BV, Marquez RL, and Gonzalez AA: Case report: Lung involvement in leptospirosis. Arch Bronconeumol 2006; 42(4):202-4
11. Trevejo RT, Rigau-Peres JG, Ashford DA, McClure EM, Gonzalez CJ, Amador JJ, et al.
Epidemic leptospirosis associated with pulmonary hemorrhage---Nicaragua, 1995. J Inf Dis 1998; 178:1457-63.
12. Vijayachari P.: Evaluation of darkground
microscopy as a rapid diagnosis procedure in leptospirosis. Indian J Med Res 2001; 114:54-58.
13. Saengjaruk P, Chaicumpa W, Watt G,
Bunyaraksyotin G, Wuthiekanun V, Tapchaisri P, et al. Diagnosis of human leptospirosis by monoclonal antribodi-based antigen detection in urine. J Clin Microbiol 2002; 40:480-489.
14. Palmer MF, Zochowski WJ.
Survival of leptospires in commercial blood culture systems revisited. J Clin Pathol 2000; 53: 713-714.
15. Levett PN.:
Usefulness of serologic analysis as a predictor of the infecting serovar in patients with severe leptospirosis. Aclin infec Dis 2003; 36: 447-452.
16. Bajani MD, Ashford DA, Bragg SL, Wood
CW, Aye T, Spiegel RA, et al. Evaluation of four commercially available rapid serologic test for diagnosis of leptospirosis. J Clin Mecrobiol 2003; 41:803-809.
17. Smith HL, Ananyina YV, Chershsky A,
Dancel L, Lai-A-Fat, RFM, Chee HD, et al. International multicenter evaluation of the clinical utility of a dipstick assay for detection of leptospira-spesific immunoglobulin M antibodies in human. J Clin Microbiol 1999; 37:2904-2909.
18. Levett PN and Branch SL.
Evaluation of two enzyme linked immunosorbent assay methods for detection of \ immunoglobulin M antibodies in acut leptospirosis. Am J Trop Med Hyg 2002; 66: 745-748.
19. Brandao AP, Camargo ED, da Silva ED,
Silva MV and Abrao RV. Macroscopic agglutination test for rapid diagnosis of
human leptospirosis. J Clin Microbiol 1998; 36: 3138-3142.
20. Levett PN and Whittington CU. Evaluation
of the indirect hemagglutination assay for diagnosis of acute leptospirosis. J Clin Microbiol 1998; 36: 11-14.
21. Effler PV, Domen HY, Bragg SL, Aye T, and Sasaki DM. Evaluation of the indirect hemagglutination assay for diagnosis of acute leptospirosis in Hawaii. J Clin Microbiol 2000; 38: 1081-1084.
22. Smith Hl, van der Hoorn MAWG, Goris
MGA, Gussenhoven GC, Yersin C, Sasaki DM, et al. Simple latex agglutination assay for rapid serodiagnosis of human leptospirosis. J Clin Microbiol 2000;
38:1272-1275.
23. Yersin C, Bovet P, Merien F, Wong T,
Panowsky J, and Perolat P. Human leptospirosis in the Seychelles (Indian Ocean): a populatioan-based study. Am J
Trop Med Hyg 1998; 59: 933-940.
24. Merien F, Amouriaux P, Perolat P, and
Girons IS. Polymerase chain reaction for detection of leptospira spp. In clinical samples. J Clin Microbiol 1992; 30: 2219- 2224.
25. Gravekamp C, van de Kemp H, Franzen M,
Carrington DG, Schoone GL, Van Eys GJJM, et al. Detection of seven species pathogenic leptospires by PCR using two sets of primers. J Gen Microbiol 1993; 139: 1691- 1700.
26. Natarajaseenivasan K, Prabhu N,
Selvanayaki K, Raja SSS, and Ratnam S. Human Leptospirosis in Erode, South India: Serology, isolation, and characterization of the isolates by randomly amplified polymorphic DNA (RAPD) fingerprinting. Jpn J Infect Dis 2004; 57: 193-197.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar