Kamis, 18 Juni 2009

Stenosis Arteri Renalis


Di sadur dari tulisan: Abdul Razak Datu dan Syakib Bakri
Ringkasan
Telah dilaporkan dua kasus stenosis arteri renalis, satu kasus dengan manifestasi nefropati iskemik dan satu kasus dengan manifestasi hipertensi renovaskuler. Diagnosis stenosis arteri renalis pada kedua kasus ini ditegakkan dengan pemeriksaan magnetic resonance angiography. Penatalaksanaan nefropati iskemik bertujuan untuk mengembalikan fungsi filtrasi dan ekskresi ginjal. Mengingat nilai prediktif untuk penderita ini adalah baik, maka kedua penderita dianjurkan untuk tindakan revaskularisasi, tetapi tidak dapat dilaksanakan karena alasan biaya.
Pendahuluan
Stenosis arteri renalis (SAR) adalah suatu keadaan dimana terjadi penyempitan pada satu atau kedua arteri renalis atau cabang-cabangnya yang mengakibatkan iskemi ginjal. Pada sebagian penderita dengan SAR tidak memberi gejala klinik oleh karena secara fungsional aliran darah ginjal masih adekwat sedangkan pada sebagian akan memberi gambaran klinik hipertensi (hipertensi renovaskuler=HRV) tanpa gangguan fungsi ginjal atau dengan gangguan fungsi ginjal (nefropati iskemik=NI).1 Iskemi ginjal akibat SAR merupakan penyebab yang penting dari hipertensi dan insufisiensi ginjal yang reversibel.2 SAR paling sering disebabkan oleh lesi aterosklerosis arteri renalis, mencakup 70-80% kasus dan lesi displasia fibromuskuler, mencakup 5-10% kasus. Penyebab lain yang lebih jarang adalah arteritis Takayasu, neurofibromatosa, aneurisma aorta disekans, posttransplant stenosis dan emboli. Lesi aterosklerotik terjadi pada usia lanjut yang merupakan bagian dari aterosklerotik pada seluruh vaskuler, lebih banyak pada pria dan umumnya pada penderita ditemukan berbagai faktor risiko utama kardiovaskuler. Dilain pihak, lesi fibromuskuler displasia terjadi pada usia muda dan lebih sering mengenai wanita.3 Diagnosis SAR dapat dipastikan dengan pemeriksaan arteriografi arteri renalis. Pemeriksaan lain yang dapat menunjang diagnosis adalah pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan aktifitas renin plasma perifer basal maupun sesudah pemberian captopril dan pemeriksaan renin vena renalis serta pemeriksaan radiologi seperti renogram dengan atau tanpa pemberian captopril, ultrasonografi serta magnetic resonance angiography (MRA).4 Berikut ini akan dilaporkan 2 kasus stenosis arteri renalis dengan 2 gambaran klinik yang berbeda.
Laporan kasus
Kasus 1
Seorang wanita, Nn A.M.G, 20 tahun, berobat di Poliklinik Ginjal-Hipertensi pada tanggal 21 Juli 2004 dengan keluhan utama bengkak pada tungkai sejak beberapa bulan terakhir. Penderita diketahui menderita tekanan darah tinggi sejak 3 tahun yang lalu, berobat tidak teratur, namun sejak beberapa bulan terakhir secara teratur mendapat Amlodipin 10 mg sekali sehari. Akhir-akhir ini kadang merasa mual sampai muntah, mudah lelah dan nafsu makan menurun. Pada pemeriksaan fisis didapatkan : tampak sakit sedang, gizi baik, sadar. Tekanan darah 140/90 mmHg (dengan amlodipin 1 X 10 mg sehari), denyut nadi = denyut jantung 92 x/menit reguler, berisi, frekuensi napas 24 x/menit torakoabdominal dan suhu aksiler 36,8 oC. Berat badan 59 kg, tinggi badan 164 cm, IMT = 21,9 kg/m2, luas permukaan tubuh 1,64 m2. Pemeriksaan kepala : konjungtiva tidak anemis, bibir tidak sianosis, sklera tidak ikterus. Pemeriksaan leher : desakan vena sentralis R-2 cm H2O, tidak ditemukan pembesaran kelenjar dan massa tumor. Pemeriksaan dada : bentuk normal, simetris, massa tumor tidak teraba, fremitus raba kiri sama dengan kanan, perkusi sonor kiri sama dengan kanan, batas paru hati ruang antar iga VI kanan depan, auskultasi bunyi pernapasan vesikuler, dan bunyi tambahan ronki dan mengi tidak ditemukan. Pada pemeriksaan jantung : iktus kordis tampak dan teraba pada sela iga-V linea medioklavikularis kiri, batas jantung kiri sesuai iktus kordis dan batas jantung kanan pada linea parasternalis kanan, bunyi jantung I/II murni, reguler, bising tidak ada. Pada pemeriksaan abdomen tampak datar, ikut gerak napas, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, peristaltik kesan normal, bruit tidak terdengar. Pada pemeriksaan ekstremitas : edema pretibial kiri dan kanan. Hasil pemeriksaan laboratorium darah : hemoglobin 11,3 g/dL, leukosit 6200 k/μL, trombosit 164.000 k/μL, hematokrit 36 %. Kimia darah : ureum 25 mg/dL, kreatinin 2,43 mg/dL, TKK 35,8 ml/mnt, asam urat 8,3 mg/dL, bilirubin total 0,32 mg/dL, bilirubin direk 0,12 mg/dL, SGOT 15 U/L, SGPT 20 U/L, albumin 3,9 g/dL, Globulin 2,9 g/dL. Kolesterol total 234 mg/dL, trigliserida 126 mg/dL, kolesterol HDL 62 mg/dL, kolesterol LDL 156 mg/dL, Gula darah puasa 96 mg/dL, Gula darah 2 jam PP 103 mg/dL, Natrium 142 mmol/L, Kalium 4,7 mmol/L, klorida 108 mmol/dL. Urinalisis : protein 500 mg/dL, eritrosit 7-12 /LPB, leukosit 2-3 /LPB. Gambaran sel darah tepi : eritrosit normositik normokrom. Pada saat penderita masuk rumah sakit, penderita didiagnosis dengan Penyakit ginjal kronik stage 3 dengan kausa kemungkinan suatu glomerulopati Hasil pemeriksaan foto thorak dalam batas normal. Hasil pemeriksaan Ultrasonografi : ginjal kanan : ukuran normal, ada tanda-tanda kaliektasis ringan; ginjal kiri : kecil dengan tandatanda pielonefritis. Kesan : pielonefritis kiri, yang kanan suspek pielonefritis ringan. Hasil pemeriksaan USG Dopler : ginjal kanan : RI = 0,62 dan PI = 1,04. Ginjal kiri : RI = 0,73 dan PI = 1,30. kesan normal upper and lower abdomen Hasil pemeriksaan Renogram : Renogram kanan : kurva cepat naik, kemudian turun dengan sudut tumpul, ekskresi menit ke-20 adalah 30 %. Renogram kiri : vaskularisasi 50 %, kurva praktis rendah dan mendatar. Perbandingan aktivitas ginjal kiri dan kanan pada menit ke-2 adalah 35% berbanding 65 %. Hasil pemeriksaan MRA : Ren sinistra tampak lebih kecil dibanding ren dekstra, dan pada paska-kontras terlihat kontur yang ireguler dengan enhancement yang terlambat jika dibandingkan dengan ren dekstra. Pada ren dekstra dan sinistra tampak arteri renalis tunggal. Arteri renalis dekstra terlihat pangkalnya kurang lebih 1 cm. Bagian distalnya tak tervisualisasi. Arteri renalis sinistra hanya terlihat berupa nipple saja. Kesan : Suspek stenosis bilateral arteri renalis, delayed left nephrogram. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan penunjang berupa ultrasonografi dan magnetic resonance angiography, maka penderita didiagnosis stenosis arteri renalis bilateral dengan nefropati iskemik dan hipertensi Penderita dikonsultasikan ke radiologi intervensi untuk menjalani angiografi dan angioplasti, namun tindakan ini tidak dilakukan karena alasan biaya. Pasien pulang dengan pengobatan diit rendah protein, rendah garam dan amlodipin 1 x 10 mg.
Kasus 2
Seorang laki-laki, AS, umur 19 tahun, masuk rumah sakit DR. Wahidin Sudirohusodo (No. Reg.200660) tanggal 5 juni 2005 dengan keluhan utama penglihatan kabur sebelah kiri secara tiba-tiba. Keluhan ini dirasakan sejak 1 minggu sebelumnya. Keluhan lain tidak ada. Riwayat penyakit sebelumnya tidak ada. Pada pemeriksaan fisis didapatkan : tampak sakit sedang, gizi baik, sadar. Tekanan darah 190/120 mmHg, denyut nadi = denyut jantung 92 x/menit reguler, berisi, frekuensi napas 24 x/menit torakoabdominal dan suhu aksiler 36,8 oC. Pemeriksaan kepala : konjungtiva tidak anemis, bibir tidak sianosis, sklera tidak ikterus. Pemeriksaan leher : desakan vena sentralis R-2 cm H2O, tidak ditemukan pembesaran kelenjar dan massa tumor. Pemeriksaan dada : bentuk normal, simetris, massa tumor tidak teraba, fremitus raba kiri sama dengan kanan, perkusi sonor kiri sama dengan kanan, batas paru hati ruang antar iga VI kanan
Stenosis arteri
depan, auskultasi bunyi pernapasan vesikuler, dan bunyi tambahan ronki dan mengi tidak ditemukan. Pemeriksaan jantung : iktus kordis tampak dan teraba pada sela iga-V linea medioklavikularis kiri, batas jantung kiri sesuai dengan iktus kordis dan batas jantung kanan pada linea parasternalis kanan, bunyi jantung I/II murni, reguler, bising tidak ada. Pemeriksaan abdomen : tampak datar, ikut gerak napas, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, peristaltik kesan normal, bruit tidak terdengar. Pemeriksaan ekstremitas : tidak terdapat kelainan pada kruris kiri dan kanan. Pada saat penderita masuk rumah sakit, penderita didiagnosis Hipertensi berat kemungkinan suatu hipertensi sekunder. Hasil pemeriksaan laboratorium (4-6-2005) : Hb 12,4 g/dL, lekosit 5.400/μL, trombosit 212.000/μL, hematokrit 36,5 %, laju endap darah 13/28, kolesterol total 253 mg/dL, kolesterol HDL 32 mg/dL, kolesterol LDL 195 mg/dL, trigliserida 127 mg/dL, ureum darah 18 mg/dL, kretinin darah 0.9 mg/dL,Klirens kreatinin 92 cc/menit Gula darah sewaktu 86 mg/dL. Pemeriksaan foto toraks : tidak ditemukan adanya kelainan. Pemeriksaan MRA: pada ren dekstra dan sinistra tampak arteri renalis yang tunggal dengan stenosis 50 % fokal terlihat di bagian distal arteri renalis dekstra dan stenosis 50 % segmental bagian proksimal arteri renalis sinistra, sehingga kesan pada pemeriksaan ini adalah stenosis arteri renalis bilateral. Dianjurkan untuk pemeriksaan dengan arteriografi renalis dan jika perlu angioplasti. Pemeriksaan ultrasonografi ginjal : besar kedua ginjal normal, parenkim menipis, ekodensitas korteks meninggi, kasar, curiga awal nefropati. Resistensi indeks arteri renal kanan-kiri, masih terukur normal, sekitar 0,5. Pemeriksaan Computed Tomography (CT) kepala (06 Juni 2005) : tidak tampak kelainan pada CT scan kepala. Konsultasi dengan Bagian IP. Mata : pemeriksaan visus VOD 1/60 (posisi baring), VOS lapangan penglihatan tidak ada. Pemeriksaan foto fundus : ditemukan perivaskuler sheating, macular starr dan eksudat pada makula. Kesan retinopati hipertensif OS. Atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan penunjang berupa ultrasonografi ginjal, MRA, dan foto fundus, maka penderita didiagnosis stenosis arteri renalis bilateral dengan hipertensi renovaskuler dan retinopati hipertensif. Penderita direncanakan menjalani angiografi dan angioplasti, namun tidak dilakukan dengan alasan biaya. Pasien pulang dengan pengobatan diit rendah garam dam medikamentosa amlodipin 1 x 10 mg dan klonidin 2 X 0.15 mg.
Pembahasan
Kedua penderita yang dilaporkan adalah penderita hipertensi yang berusia muda. Penderita hipertensi yang berusia <>
sebagai berikut:
i) Low index of clinical suspicion :
Hipertensi moderat, ringan dan sedang yang tidak disertai dengan gejala khusus. Tidak harus dilakukan pemeriksaan khusus pada pasien ini.
ii) Moderat index of clinical suspicion :
Ciri klinis pada kategori ini adalah : hipertensi berat (TDD > 120 mmHg), hipertensi refrakter, onset hipertensi pada umur ≤ 20 th atau ≥ 50 th, hipertensi yang disertai dengan bising abdominal, hipertensi moderat pada perokok, atau yang terbukti menderita penyakit vaskuler perifer (PVD). Dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan non-invasif pada pasien seperti ini, antara lain pengukuran kadar renin plasma setelah pemberian captopril, yang dikuti dengan pemeriksaan angiografi dan kemudian pemeriksaan kadar renin vena renalis..
iii) High index of Clinical suspicion :
Ciri klinis pada kategori ini adalah hipertensi berat yang disertai insufisiensi renal yang progresif atau refrakter terhadap terapi yang adekuat, khususnya pada perokok atau telah terbukti adanya penyakit oklusi arteri, hipertensi maligna atau hipertensi akselerasi (retinopati hipertensi grade III atau IV), hipertensi yang disertai peningkatan kreatinin serum yang progressif, hipertensi sedang hingga berat dengan ukuran ginjal yang tidak simetris. Pasien pada kategori ini dianjurkan untuk langsung dilakukan pemeriksaan arterografi. Berdasarkan indeks kecurigaan klinis stenosis arteri renalis di atas, kedua penderita ini dikategorikan kedalamhigh index of clinical suspicion. Mekanisme terjadinya hipertensi pada SAR adalah karena aktifasi sistim renin-angiotensin yang mengakibatkan berbagai macam proses hemodinamik dan kelainan struktur ginjal. Pada keadaan stenotik yang bermakna (> 70% lesi stenotik) akan terjadi penurunan aliran darah ginjal yang secara fisiologik tidak bisa mencukupi metabolisme ginjal, juga akan menyebabkan penurunan tekanan intraglomeruler yang selanjutnya menyebabkan tekanan filtrasi glomerulus menurun. Untuk mengatasi hal ini maka tubuh akan mengeluarkan renin, yang selanjutnya akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin-1 (ang-1). Selanjutnya ang-1 akan dirubah oleh angiotensin converting enzyme (ACE) menjadi angiotensin-II ( ang-II). Ang-II akan menyebabkan vasokonstriksi arteriole eferen sehingga tekanan intraglomeruler akan meningkat, yang pada gilirannya akan meningkatkan tekanan filtrasi. Ang-II juga akan menyebabkavasokonstriksi perifer, mengaktifasi simpatis dan menyebabkan peningkatan aldosteron yang akan meningkatkan reabsorbsi natrium dan air. Hal-hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan darah. Ang-II juga akan menyebabkan pelepasan endothelin yang merupakan vasokonstrisi yang kuat, yang akan memperberat vasokonstriksi yang terjadi. Ang-II juga menyebabkan peningkatan produksi matrix extraseluler serta merangsang pelepasan growth factor seperti transforming growth factor beta pada ginjal yang akan menyebabkan fibrosis ginjal. Iskemi ginjal akan menyebabkan atrofi parenkhim ginjal. Secara kumulatif hal-hal ini akan menyebabkan glomerulosklerosis dan tubulointerstial atrofi dan fibrosis, yang pada akhirnya akan menyebabkan penurunan fungsi ginjal.2 Pada kasus pertama, telah dijumpai penurunan fungsi ginjal sedangkan pada kasus kedua belum terjadi hal tersebut. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena perbedaan derajat stenosis pada kedua kasus. Pemeriksaan yang dapat menunjang diagnosis SAR adalah pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan aktifitas renin plasma perifer basal maupun sesudah pemberian captopril dan pemeriksaan renin vena renalis serta pemeriksaan radiologi seperti renogram dengan atau tanpa pemberian captopril serta ultrasonografi. Pemeriksaan-pemeriksaan ini memiliki keterbatasan oleh karena sensitifitas dan spesifitas yang rendah. Pemeriksaan yang memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi adalah MRA, sedangkan baku emas adalah arteriografi arteri renalis. Kedua pasien yang dilaporkan ini diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan MRA. Pada berbagai kepustakaan dilaporkan MRS mempunyai sensitifitas hingga 95 % dan spesifitas 94 %.6,7 Pengobatan terhadap hipertensi renovaskuler berupa pengobatan medikamentosa serta tindakan revaskularisasi. Pengobatan medikamentosa tidak berbeda dengan hipertensi esensil. Perhatian khusus harus diberikan bila memberikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) atau angiotensin receptor blocker ( ARB). Kedua obat ini merupakan pilihan pada stenosis arteri renalis unilateral dengan ginjal kontralateral yang berfungsi baik; sebaliknya merupakan kontraindikasi pada stenosis arteri renalis bilateral atau pada stenosis arteri renalis unilateral dimana hanya satu ginjal (yang stenotik) yang berfungsi, oleh karena akan menyebabkan perburukan fungsi ginjal, bahkan gagal ginjal akut. Umumnya dibutuhkan kombinasi beberapa macam antihipertensi untuk mendapatkan kontrol tekanan darah yang optimal pada penderita hipertensi renovaskuler.8 Pada penderita stenosis arteri renalis karena fibromuskuler displasia, tindakan revaskularisasi baik dengan operasi atau angioplasti (dengan atau tanpa stent) dapat merupakan pengobatan dalam menurunkan tekanan darah dan mencegah terjadinya ataupun perburukan nefropati iskemik. sedang pada penderita SAR karena proses aterosklerosis, tindakan ini kurang memberi hasil yang optimal.9 Pada kedua kasus ini revaskularisasi baik dengan angioplasti perkutan atau tindakan operatif merupakan pilihan terbaik, mengingat kemungkinan displasia fibromuskuler sebagai penyebab stenosis. Pada berbagai penelitian, keberhasilan tindakan angioplasi perkutan mencapai 85-100%, dimana 50% pasien dapat disembuhkan sedangkan pada 40% mengalami perbaikan kontrol tekanan darah dan atau fungsi ginjal. Pada stenosis arteri renalis karena lesi aterosklerotik tindakan revaskularisasi kurang memberi hasil yang optimal dibanding karena fibromuskuler.
Kepustakaan
1 Bloch MJ. An evidence-based approach diagnosing renovascular hypertension. Curr Cardiol Rep 2001;3:477-484
2 Textor SC. Ischemic nephropathy: where are we now? J Am Soc Nephrol 2004;15:1974-1982
3 Safian RD, Textor SC. Renal artery stenosis. N Engl J Med 2001;344(6):431-442
4 Bhalla A, D’Cruzz S, Lehl SS, et al. Renovascular hypertension – Its evaluation and management. JIACM 2003;4(2):139-146
5 Sos TA, Trost DW. Renal vascular disease as a cause of hypertension. Curr Opin Nephrol Hypertens 1995;4:76-81
6 Textor SC, Canzanello VJ. Radiographic evaluation of the renal vasculature. Curr Opin Nephrol Hypertens 1996;5:541-551
7 Rosner MH. Renovascular Hypertension : Can we identify a population at high risk?. South Med J 2001;94(11):1058-1064
8 Bakris GL, Williams M, Dworkin L, et al. Preserving renal function in adults with hypertension and diabetes: a consensus approach. National Kidney Foundation Hypertension and Diabetes Executive Committees Working Group. Am J Kidney Dis. 2000;36:646-661.
9 Kidney D, Deutshc LS. The indication and results of percutaneus transluminal angioplasty and stenting in renal artey stenosis. Semin Vasc Surg 1996;9:188-197

Tidak ada komentar:

Posting Komentar