Rabu, 15 Desember 2010

etika dalam foto jurnalistik

hi semuanya...

dua hari yang lalu, saya sudah menyerakan hasil foto jurnalistik ku ke panitia lomba sinoversary. ada tiga foto yang saya sertakan. namun kayaknya masih jauh dari harapan... (T.T) tapi nggak jadi masalah, soalnya ada banyak pengalaman yang saya dapatkan selama hunting foto jurnalistik tersebut, salah satunya adalah berinteraksi dengan seseorang yang baru saya kenal, bagaimana saya dapat membaur, tanpa membuat orang yang ingin saya foto menjadi risih. semua itu saya dapatkan dari sebuah note yang di tulis oleh seseorang dalam akunt fb nya (maaf, nama orang itu saya lupa... n akunt fb nya juga nggak tau T.T) jadi lewat blog ini akan saya paparkan apa yg beliau tuliskan...
------------------------------------------------------------------

1. Etika memotret ruang publik, harus melihat sikon dari negara dan tempat bersangkutan, dibeberapa negara terdapat larangan untuk memotret anak kecil yang berlarian di jalan, contohnya Australia, karena sangat takut jika terjadi eksploitasi anak. Berbeda dengan di Indonesia yang bisa dengan bebas candid anak kecil.

2.Ingatlah ketika memotret orang, artinya kita memasuki area privacy orang tersebut, cobalah untuk meminta izin terlebih dahulu dan sampaikan maksud kita dalam mengambil gambar, apakah untuk komersil atau hanya sebagai dokumentasi pribadi.
Pernah pengalaman saya ketika memotret di pasar Serang, saya secara iseng (ingin melihat reaksi) mengatakan bahwa saya seorang fotografer koran lokal, alhasil, ketika 2 minggu kemudian saya lewat lagi ke tempat yang sama, ibu itu bertanya:
"kapan mas foto saya muncul, setiap hari saya beli koran rxxxx bxxxx itu lho mas..".
Saya yang jadi repot menjawabnya

3. Untuk memotret kejadian-kejadian seperti kecelakaan, bencana dan tragedi lainnya, para jurnalis biasanya memiliki akses sendiri (kode etik jurnalistik) yang diatur dalam UU no 40/1999 PERS dan KEJ -banyak pasalnya-.

4. Street foto merupakan style foto yang paling memasuki ruang publik, biasakan untuk meminta izin kepada petugas lapangan (polisi) dan sampaikan maksud kita. INGAT, jika foto tersebut merupakan foto komersil maka izin tersebut biasanya tidak GRATIS.
Maka saya always mengatakan kalo setiap foto saya adalah dokumen pribadi

5. Untuk memotret ruang publik lainnya, etika jurnalistik membolehkan kita memotret rumah seseorang, kantor atau mall jika mereka terlibat dalam sebuah kasus yang layak dan berhak untuk diketahui publik.
Misal layak dan berhak itu, jika sebuah institusi/orang punya masalah yg dampaknya merugikan banyak orang, seperti pencemaran limbah, untuk itu biasanya kita akan dijinkan mengambil gambar sebatas pemotretan pada kawasan yang dituju tanpa melibatkan oknum-oknum yang terkait.

Disamping itu masih sangat banyak KEJ dan fotografi termasuk larangan publikasi foto bohong (editing yang bertujuan untuk memperkeruh suasana), yang diatas itu hanya yang sesuai dengan saya sebagai amatiran saja.
Mungkin itu sekedar sharing saya, mohon dikoreksi

Pernah dengar cerita tentang fotografer yang memotret anak busung lapar disuatu negara?
Fotografer tersebut memotret tepat sesaat anak kepala anak tersebut akan dimakan oleh burung pemangsa bangkai.
Lalu hasil fotonya di publish ke beberapa Negara, dan tersentaklah Negara-Negara itu.
Dan akhirnya bantuan besar-besaran disalurkan ke daerah kelaparan tersebut.

Nasib sang fotografer?? Dia menjadi stress.

Karena merasa sangat berdosa tidak menyelamatkan anak tersebut, malah memotretnya.
Namun jika sang fotografer tersebut tidak memotret dan memilih untuk menolong anak tersebut, memang anak tersebut akan selamat, namun ratusan orang kelaparan lain didaerah tersebut tetap akan 'mati' kelaparan.
Foto adalah rekontruksi sebuah fakta yang terabadikan melalui gambar,..dan sangat tidak etis sekali jika kita melakukan sebuah,..editing mengenai point-poin pokok dalam foto tersebut,....

Batasan retouching yang diperbolehkan di suatu foto jurnalistik

Dalam jurnalistik, olahan baik manual maupun digital boleh dan sah-sah saja, namun ada batasannya:

1.Tak boleh merubah data yang ada. Membuat blur BG boleh karena mungkin kita tidak sempat memblurkan saat memotret. Membuat blur BG sama saja dengan memotong subjek utamanya (masking). Yang tidak boleh adalah pembuatan blur BG yang berlebihan.

2.Krop juga boleh

3.Memperbaiki warna diizinkan asal bukan mengganti. Misalnya salah pasang WB, sah-sah saja
dikoreksi.

4.Boleh memperbaiki kerusakan foto, misal CCD kotor, negatif tergores dll.

Fotojurnalistik tidak terlelu "serem" kok. Biasa-biasa saja. Yang pasti jangan pernah ada niat membelokkan fakta lewat rekayasa apa pun. Sekali kita ketahuan bohong, lain kali orang sudah tidak percaya pada foto kita. Tanpa olah digital, tanpa rekayasa kamar gelap, sebuah foto bisa rekayasa kok.

Angle yang kita pilih sebenarnya sudah rekayasa. Misalnya ada dua politikus si A dan B, adu debat. Kalau kita pro si A, kita milih angle agar si A tampak lebih besar daripada si B....dst.....

contoh:

( inilah salah satu foto yang saya ikutkan dalam lomba tersebut, judulnya "aku bukan orang terkutuk" mengenai orang2 terpinggirkan karena penyakit kusta yang diderita)

3 komentar:

  1. akan lebih mengena kalau gambarnya memperlihatkan bekas amputasi

    BalasHapus
  2. bagus...
    i lake it
    fitri

    BalasHapus
  3. Jadi, bagaimana hukum mengenai Street Photography di Indonesia?

    Bebas asalkan tidak untuk komersil (editorial masih boleh), atau sama sekali tidak boleh dipublish (online maupun offline)?

    Makasih :-)

    BalasHapus